KOMODIFIKASI AFEKSI: LAMA-LAMA SEMUA AKAN MASUK KEDALAM PUSARAN KAPITALISME!

Umanitya Fitri Hanryana
6 min readApr 2, 2022

--

Umanitya Fitri Hanryana

(pinterest.com)

Seiring berkembangnya zaman, pemikiran manusia menjadi semakin terbuka dan cenderung memangkas stigma-stigma tabu yang berada di masyarakat. Belakangan ini fenomena cuddling atau berpelukan menjadi fenomena yang cukup populer. Ditambah lagi perkembangan teknologi yang pesat memudahkan masyarakat untuk mendapatkan partner cuddle. Munculnya aplikasi-aplikasi seperti Tinder, Bumble, dan OkCupid, Instagram, Twitter, dan lain sebagainya semakin memudahkan orang-orang yang memang memiliki intensi untuk mendapatkan afeksi dan partner cuddle melalui aplikasi tersebut. Namun sebenarnya apakah itu cuddle?

Cuddling merupakan aktivitas atau bentuk dari penyaluran afeksi dan kasih sayang yang dilakukan dengan cara menyentuh atau memegang erat seputar bagian badan seseorang. Cuddling tidak hanya dapat dilakukan dengan manusia saja, namun kita juga bisa berpelukan dengan hewan maupun benda mati seperti boneka dan guling. Berpelukan dapat dilakukan kepada siapapun tanpa memandang jenis kelamin, umur, dan lain sebagainya. Cuddling juga dapat kita jumpai pada relasi antara orang tua dengan anaknya. Tak jarang bahwa seorang ibu memeluk anaknya dengan erat karena hal tersebut merupakan salah satu dari ekspresi kasih sayang.

Budaya berpelukan atau cuddling menjadi populer di Indonesia karena cuddling merupakan salah satu dari penangkal stres. Ditambah lagi, kondisi pandemi seperti sekarang ini membuat tingkat stres dimasyarakat bertambah cukup signifikan. Dilansir dari tirto.id, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei dan sebanyak 64,3 persen dari 1.522 orang responden memiliki masalah psikologis cemas atau depresi akibat pandemi. Karena tingkat stres yang cukup tinggi, cuddling menjadi salah satu alternatif dan digemari oleh banyak orang karena memang sebagian besar orang membutuhkan afeksi. Cuddling membuat seseorang merasakan kenyamanan dan kedekatan dengan partner cuddle nya. Selain itu, cuddling juga merupakan salah satu cara untuk melepaskan stres karena ketika kita berpelukan, akan menghasilkan hormon oksitoksin yang dapat membuat kita menjadi bahagia (Kuchinskas, 2009).

Karena fenomena cuddle yang cukup populer di kalangan masyarakat, muncul pekerjaan yang cukup out of the box dan dianggap tak lazim bagi sebagian masyarakat. Fenomena ini adalah jasa “cuddle care” yang menawarkan jasa pelukan. Mereka mengklaim dirinya sebagai professional cuddler yang dapat memberikan jasa pelukan dan afeksi kepada para pengguna jasa “cuddle care”. Bisnis ini cukup menjanjikan. Siapa yang tak tergiur dengan uang yang dihasilkan oleh jasa “cuddle care” ini. Mereka mematok harga sekitar Rp. 450.00–700.000 per jam. Pada akun Instagram yang menawarkan jasa cuddle ini yaitu @indocuddle menjelaskan bahwa mereka membuka jasa ini ditujukan kepada orang yang sedang membutuhkan afeksi dikarenakan depresi, trauma, kangen orang tua, autisme, distabilitas, ataupun orang yang memiliki tekanan kerja tinggi. Selain menyediakan jasa berpelukan, mereka juga menyediakan jasa curhat bersama Sang “professional cuddler”.

Namun fenomena jasa “cuddle care” ini cenderung menjadikan afeksi ini sebagai komoditas untuk mengkapitalisasi afeksi dan mendapatkan keuntungan. Komoditas merupakan objek di luar kita yang merupakan properti guna memuaskan keinginan manusia (Marx, 1887). Komodifikasi ini juga dapat disebut ketika seseorang melakukan proses produksi dan kemudian bertujuan untuk untuk dipasarkan. Dalam fenomena “cuddle care” logika kapitalisme mencoba untuk mengkomodifikasi afeksi. Ia menjadikan afeksi sebuah komoditas demi keuntungan. Namun apakah tepat apabila afeksi dijadikan sebuah komoditas? Dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji dan menganalisis mengenai komodifikasi afeksi dalam fenomena “cuddle care” menggunakan pisau analisis marxisme.

Cuddle atau berpelukan merupakan salah satu cara untuk menstimulasi mood manusia. Selain itu cuddle juga merupakan salah satu bentuk dari ekspresi penyampaian afeksi kita kepada seseorang. Ketika seseorang sedang berpelukan, Hippotalamus pada otak akan memicu untuk memproduksi hormon oksitoksin neuropeptida yang memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada respon seksual, sensualitas, erotis interpersonal dan, ketertarikan emosional (Wilson, 2003). Hormon oksitosin yang dilepaskan saat aktivitas berpelukan memainkan peran penting dalam memfasilitasi keterikatan sosial dan dalam menumbuhkan perasaan nyaman, cinta, percaya, dan bahagia. Selain itu oksitosin juga memiliki efek berupa meningkatkan hubungan emosional dan kepercayaan antar manusia (Young, 2009). Karena banyaknya manfaat yang dihadirkan oleh berpelukan ini, kapitalisme mencoba untuk mengkomodifikasi afeksi berupa pembentukan institusi atau pelayanan jasa “cuddle care”.

“Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pelukan” Begitulah kira-kira tag line dari penyedia jasa “cuddle care” di laman instagramnya @indocuddle. Mereka menyediakan jasa pelukan dan curhat untuk orang yang sedang membutuhkan afeksi seperti orang yang sedang mengalami depresi, stress, dan mengalami tekanan-tekanan dalam hidup. Mereka menyediakan jasa pelukan yang akan dilayani oleh seorang profesional cuddler. Yang dimaksud dengan profesional cuddler adalah mereka yang telah lolos pada seleksi dan sesuai dengan standar kualifikasi dari indo cuddler. Mereka memiliki kriteria penyedia jasa cuddle berupa perempuan atau laki-laki yang berusia 18–45 tahun, lulusan S1 Psikologi, dapat menjadi pendengar yang baik, part time working, good looking, sehat jasmani dan rohani, berkemampuan komunikasi yang baik dan aktif, dapat menjadi pemeluk yang nyaman, dan berdomisil di Jabodetabek. Untuk mendapatkan layanan ini, calon pengguna jasa dapat mengisi formulir yang tertera pada link di bio instagram @indocuddle.

Selain @indocuddle, jasa “cuddle care” ini juga sempat ramai di twitter. Pada tanggal 1 November 2020 muncul thread di twitter yang mengatakan bahwa mereka menyediakan jasa “cuddle care”. Mereka menamakan diri mereka sebagai “Prodekap”. Mereka mengklaim diri mereka sebagai penyedia jasa berpelukan berbasis hubungan platonic. Hubungan platonis dapat didefinisikan sebagai hubungan yang hanya tertarik intim pada seksualitas saja, namun tidak ada rasa cinta di antara mereka (Cramer & Donachie, 2010).

(Sumber: Twitter.com/alvinbolang_)

Dari kedua fenomena jasa “cuddle care” diatas dapat dilihat bahwa mereka mencoba untuk menjadikan afeksi sebuah komoditas demi mendapatkan uang. Logika kapitalisme mencoba untuk mengkomodifikasi afeksi. Namun, mencari sebuah afeksi merupakan suatu hasrat yang alamiah ada di dalam diri manusia. Afeksi bukan hanya merupakan sebuah produk yang bisa dikapitalisasi dan dijadikan sebuah komoditas karena di dalam afeksi ada sebuah hubungan atau relasi antara manusia maka dari itu, sulit untuk “absorb” sebagai sebuah komoditas. Kerja-kerja imaterial seperti kognitif, afektif, dan lain-lain akan selalu gagal untuk ditundukkan sepenuhnya oleh kapital. Meskipun kerja afektif tidak sepenuhnya berada di luar produksi kapitalis, proses postmodernisasi ekonomi yang telah berlangsung selama dua puluh lima tahun terakhir telah menempatkan kerja afektif dalam peran yang tidak hanya secara langsung menghasilkan kapital tetapi juga bagian paling atas dari hierarki bentuk-bentuk kerja. Hal ini dikarenakan kerja afektif dianggap oleh akumulasi kapital sebagai penghasil nilai tertinggi. Kerja-kerja imaterial termasuk kerja afektif menghasilkan produk yang tidak berwujud seperti rasa nyaman, kepuasan, kegembiraan, gairah, dan lain sebagainya. Karenannya kerja-kerja afektif sangat berhubungan dengan relasi dan kontak antar manusia yang kemudian menghasilkan pengaruh psikologis yang cukup kuat (Hardt, 1999).

Di sisi lain, pemenuhan afeksi pengguna jasa cuddle care cenderung mengalami ilusi sementara seolah-olah kebutuhan afeksional mereka terpenuhi, padahal lagi-lagi mereka hanya masuk ke dalam pusaran kapitalisme yang menyebabkan demand terhadap jasa tersebut akan meningkat dan implikasinya pengguna jasa akan mengalami ketergantungan yang menyebabkan demand terhadap jasa tersebut akan meningkat juga. Padahal afeksi dapat dilakukan “by nature” tanpa harus dijadikan sebuah komoditas karena afeksi bersifat relasi antar manusia. Maka dari itu, kapitalisme berhasil mengkomodifikasi afeksi yang merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berujung pada eksploitasi. Kerja-kerja imaterial tidak mungkin habis karena kita sebagai manusia dan relasi kita antar manusialah yang memproduksinya. Bayangkan apa bila ada produk yang tidak bisa habis dan dapat diproduksi terus menerus. Hal ini merupakan “lahan basah” untuk kapitalisme.

Referensi

Cramer, D., & Donachie, M. (2010). Psychological Health and Change in Closeness in Platonic and Romantic. The Journal of Social Psychology, 765.

Fine, B., & Alfredo, S. F. (2016). Marx Capital’s. London: Pluto Press.

Hardt, M. (1999). Affective Labor . boundary 2, Vol. 26, №2, 89–100.

John Storey. (2009). Cultural Theory and Popular Culture An Introduction. London: Pearson Education.

Kuchinskas, S. (2009). The Chemistery Of Connection. Oakland: New Harbinger Publications, Inc.

Marx, K. (1887). Das Kapital. (S. Moore, & E. Aveling, Penerj.) Moscow: Progress Publishers.

Marx, K. (1970). A Contribution to the Critique of Political Economy. Moscow: Progress Publishers.

Williams, R. (1977). Marxism and Literature: Marxist Introductions. New York: Oxford University Press.

Wilson, J. (2003). Biological Foundations Of Human Behavior. Wadsworth Publishing.

Young, L. J. (2009, Januari 8). Love: Neuroscience reveals all. NATURE Vol. 457, 148.

--

--